Ekosistem Sungai

Sungai Code Yogyakarta (Doct. Pribadi)
Ekosistem dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya, sehingga membentuk suatu sistem. Menurut Odum (1971), Ekosistem merupakan tingkat organisme yang lebih tinggi daripada komunitas atau merupakan kesatuan dari komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi hubungan antar komponen di dalamnya. Di dalam ekosistem setiap spesies mempunyai suatu niche atau relung ekologi yang khas. Setiap spesies juga hidup di tempat dengan faktor-faktor lingkungan yang khas yaitu di suatu habitat tertentu, sehingga ekosistem seperti halnya dengan komunitas, tidak mempunyai batas-batas ruang dan waktu.
Di permukaan bumi, terdapat berbagai jenis ekosistem yang memiliki keanekaragaman organisme, salah satunya adalah ekosistem sungai. Ekosistem sungai berada pada daerah aliran sungai (DAS) yang mana merupakan wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian disalurkan ke laut melalui sungai (Happy et al., 2012). Dalam ekosistem sungai, ekosistem tersebut tersusun atas komponen biotik dan abiotik. Lingkungan biotik disusun oleh organisme sejenis yang disebut populasi, yang saling berinteraksi dengan populasi lain sebagai komunitas dan berinteraksi dengan lingkungan abiotik membentuk ekosistem. Sedangkan tempat hidup organisme disebut habitat (Clapham, 1973).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air disebutkan bahwa untuk menjaminkualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukanupaya pengelolaan kualitas air. Upaya pengelolaan kualitas air pada sungai antara lain dengan menetapkan daya tampung sungai, menetapkan peruntukansungai yang disertai dengan penerapan bakumutu perairan. Daya tampung beban pencemaran sungai adalah kemampuan air pada suatu sumber air (dalam hal ini sungai), untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air sungai tersebut menjadi cemar. (Fatmawati et al, 2012).
Perairan tergenang seperti waduk dan danau produser yang dominan adalah phytoplankton. Untuk perairan mengalir seperti sungai, maka produser yang dominan adalah tumbuhan tepian sungai (riparian vegetation) dimana daun-daun yang jatuh kesungai akan membusuk (serasah) dan akan dimakan oleh hewan detrifora. Detrifora ini akan di mangsa oleh hewan tingkat tinggi lainnya yang akan mempengaruhi produksi ikan (Fajri et al., 2009).

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Clapham, W.B. 1973. Natural Ecosystem. Mac Millan Publishing Inc, New York.
Fajri, N., E. Sumiarsih, R. I. Dewi, A. Yeni. 2009. Kerapatan dan produksi serasah tumbuhan riparian dominan perairan Sungai Siak di Desa Belading Kecamatan Sabak Auh Kabupaten Siak Provinsi Riau. Perikanan Terubuk 37(2):60-77.
Fatmawati, R., A. Masrevaniah, M. Solichin. 2012. Kajian identifikasi daya tampung beban pencemarankali ngrowodengan menggunakan paket program qual2kw. Jurnal Teknik Pengairan 3(2):122–131.
Happy, A., Masyamsir, Y. Dahiyat. 2012. Distribusi kandungan logam berat Pb & Cd pada kolom air dan sedimen daerah aliran Sungai Citarum hulu. Jurnal Perikanan & Kelautan 03(3):175-182.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Reinhart and Whasington, New York.

Adaptasi Tanaman Terhadap Faktor Air

Adaptasi katus pada daerah minim air (www.desertusa.com)
Air adalah komponen pokok penunjang keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Pada tanaman, 90% sel berisikan air dan 40 persennya digunakan untuk bertahan hidup dalam kondisi kering (Vickery, 1984). Selama siklus hidup, tanaman memperoleh air dengan cara menyerap air dari lingkungan. Proses penyerapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor tanaman dan faktor lingkungan. Faktor tanaman yang berpengaruh adalah efisiensi perakaran, perbedaan tekanan difusi air tanah ke akar, dan keadaan protoplasma tanaman. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah kandungan air tanah, kelembaban udara, dan suhu tanah (Ai et al., 2013).

Apabila tanaman berada pada cekaman kekeringan, hal ini dapat menimbulkan pengaruh yang kompleks terhadap tanaman. Secara morfologi dan fisiologi pengaruh defisit air dapat dilihat dari penampilan luas daun individu, kecepatan muncul daun, aktivitas asimilasi CO2, membuka menutup stomata, kecepatan pertumbuhan biji, dan pengisian biji (Kumalasari et al., 2012). Menurut Rost et al.(1984), tanaman dikasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan kadar air lingkungan tempat hidupnya, yaitu :
- xerofit, tanaman yang dapat hidup di tempat yang sangat kering
- hidrofit, tanaman yang dapat hidup di tempat yang sangat basah.
- mesofit, tanaman yang dapat tumbuh subur di tempat tersedianya air dengan jumlah sedang.

Bentuk adaptasi secara fisik dapat mempengaruhi tumbuhan yang mempengaruhi tumbuhan terhadap faktor air adalah berupa lapisan kutikula dan stomata. Kutikula pada tanaman yang ada di darat memiliki peran  membantu mencegah desikasi atau dengan daun yang kutikulanya tipis. Besar kecilnya lubang stomata dapat berpengaruh pada pertukaran gas saat proses evaporasi terjadi (Salomon et al., 2008). Tanaman yang melakukan fotosintesis dengan kondisi air yang terbatas akan cenderung mempertahankan turgor dan memproduksi osmolytes dengan tujuan untuk melindungi jaringan dari dehidrasi (Kostopoulou et al., 2009).

Adaptasi dalam tanaman dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
Adaptasi Morfologi
Adaptasi morfologi meliputi penyesuaian diri makhluk hidup dengan ditandai adanya bentuk tertentu dari bagian tubuh mahkluk hidup agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Lingkungan hidup yang berbeda menyebabkan adaptasi morfologi yang berbeda pula.
Adaptasi fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yang menyebabkan adanya penyesuaian pada organ atau alat-alat tubuh untuk mempertahankan hidup dengan baik. 
Adaptasi biokimia
Adaptasi biokimia adalah adaptasi yang bertujuan untuk melindungi sel-sel dan jaringan dari kerusakan dan kematian selama keadaaan kering yang berat.

Dalam budidaya tanaman, pemahaman akan jenis kondisi tanaman dalam adaptasinya terhadap ketersediaan air sangatlah diperlukan. Jika suplai air ke lahan pertanian kurang, tanaman akan mengalami dehidrasi dan mati mengering. Sebaliknya, jika suplai air ke lahan pertanian berlebih, maka tanaman akan mengalami keadaan anaerob dan mati membusuk.  Jadi, dengan pemahaman akan hal tersebut, penerapan proses pengairan dapat dilakukan dengan baik dan tepat agar menghasilkan produk pertanian yang memuaskan.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ai, S.N., P. Torey. 2013. Karakter morfologi akar sebagai indikator kekurangan air pada tanaman, Jurnal Bioslogos 3(1):31-39.
Kostopoulou P.,Vrahnakis M.S., Merou T., dan Lazaridou M. 2009. Perennial-like adaptation mechanisms of annual legumes to limited irrigation. Jurnal Biologi Lingkungan 31:311-314.
Rost, T.L.,  M.G. Barbour., R.M. Tahornton., T.E. Weler., C.R.Stocking. 1984.Botany. John Willey and Sons, Canada. 
Solomon, E.P., L.R. Berg, D.W. Marten. 2008. Biology 8th ed. Thomson Brook or Cole, Belmont.
Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plants. Great Britanian, Pitman Press Limited.
 

Dampak Hujan Asam Terhadap Perkecambahan Tanaman

Hujan asam di kawasan padat industri (www.sundaynews.co.zw)
Hujan asam adalah dampak pertemuan antara polutan SO2, SO3, NO2, dan HNO3 dengan butir-butir air. Semua unsur polutan tersebut merupakan hasil sampingan dari proses pembakaran bensin maupun solar baik dari pabrik maupun kendaraan (Cahyono, 2009). Sulfur atau belerang merupakan unsur yang terkandung dalam bahan bakar minyak solar. Selama proses pembakaran, belerang ini berkombinasi dengan oksigen dan mengubah bentuk menjadi SO2 & SO3. Peningkatan pendirian pabrik di wilayah industrial semakin meningkatkan volume keberadaan polutan tersebut. Hujan asam terjadi akibat kedua gas tersebut saling bereaksi di atmosfer dan membentuk asam. Sulfur dioxcide (SO2) bereaksi membentuk asam sulfur, sedangkan nitrogen dioxcide (NO2) bereaksi membentuk asam nitrit (Morris, 2004)

Proses terjadinya hujan asam dimulai dari proses terbentuknya  gas yang mengandung sulfur/belerang. Gas yang mengandung Sulfur dioksida (SO2) bereaksi dengan oksigen (O2) dengan bantuan sinar ultraviolet, kemudian proses ini akan menghasilkan sulfur trioksida (SO3) yang akan menyatu menjadi H2SO4 setelah bereaksi dengan air. Partikel yang mengandung SO3 akan mengendap di udara dan akan digerakkan oleh angin untuk membentuk tetesan halus dari satu tempat ke tempat lain. Ketika semuanya sudah terkumpul pada suatu tempat, maka air yang asam sulfat tadi akan jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk hujan asam.

Polusi ini menyebar melalui proses dispersi dan disposisi, yang menyebabkan penurunan kualitas udara, kualitas air, kandungan mineral serta hara dalam tanah. Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup yang lainnya, serta juga merusak proses-proses industri, serta merusak sumber daya  alam (Odum, 1971). Tanaman tidak akan mampu hidup dalam kondisi tanah terlalu masam. Hanya beberapa jenis tanaman yang bersifat toleran terhadap keasaaman tanah di antaranya nanas dan singkong (Barchia, 2006).

Pada umumnya Ph tanah netral berkisar antara 6,5-7,5. Ph tanah netral merupakan ph yang mampu menciptakan kondisi akan ketersediaan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tanaman. Namun, ketika terjadi hujan asam maka menyebabkan kondisi tanah memiliki kandungan sulfat masam berlebih sehingga mampu mendorong pelapukan mineral-mineral silikat dalam tanah (Barchia, 2006). Dampak negatif tersebut tidak hanya berdampak bagi lingkungan, makhluk hidup yang mendiami juga akan merasakannya seperti terkontaminasinya air sumur oleh gas NOX (N2O, NO2, N2O4) (Sutanto dan Iryani, 2011).

Menurut WHO (World Health organization), selama beberapa tahun terakhir banyak bermunculan penyakit akibat keracunan zat kimia yang digunakan untuk pertanian. Hal ini disebabkan oleh pestisida yang disemprotkan ke tanaman akan masuk dan meresap ke dalam sel-sel tumbuhan, termasuk ke bagian akar, batang, daun, dan buah (Marlina et al., 2012). Namun, selain pestisida yang dapat menyebabkan keracunan pada tanaman, hujan asam juga dapat menurunkan kadar pH tanah yang menyebabkan menurunnya unsur hara makro tetapi terjadi penambahan ketersediaan unsur hara mikro yang melampaui batas sehingga bersifat meracuni tanaman (Pinandari et al., 2011)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut : Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Marlina, N., Saputro E.A., N. Amir. 2012. Respons tanaman padi (Oryza sativa L.) terhadap takaran pupukorganik plus dan jenis pestisida organik dengan system of rice intensification (sri) di lahan pasang surut. Jurnal Lahan Suboptimal 1(2):138-148.

Morris,T. 2004. Acid Rain and Plant Growth. Fullerton, Environmental Biology Laboratory
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3th Ed. W.B. Sanders Company, Philadelphia.
Pinandari, A.W., D.N. Fitriana, A. Nugraha, E. Suhartono. 2011. Uji efektifitas dan efisiensi filter biomassa menggunakan sabut kelapa (cocos nucifera) sebagai bioremoval untuk menurunkan kadar logam (cd, fe, cu), total padatan tersuspensi (tss) dan meningkatkan ph pada limbah air asam tambang batubara. Prestasi 1(1):1-12.
Sutanto, Iryani. 2011. Hujan asam dan perubahan kadar nitra dan sulfat dalam air sumur di wilayah industri Cibinong-Citeureup Bogor. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah 14 : 34-45.